Rabu, 03 Desember 2014

Wanita Melankolia

Suara mesin print di pojok ruang bergemuruh tak berkesudahan, entah sudah berapa rim kertas yang sudah disuapkan kedalam kolong perutnya. Pekerjaan menumpuk tak ada hentinya, ada lima gelas kertas bekas kopi masih tercecer dimeja bersama dengan kertas-kertas penuh dengan coretan. Jam dinding menunjukkan jam 11.00 malam, aku masih saja bergumul dengan pekerjaan yang tak kunjung ada ekornya. Sejam kemudian aku memutuskan untuk kembali ke kamar sewaku, sudah penat tak sanggup lagi berfikir. Aku menyusuri dinginnya malam awal musim dingin, tangan mengepal dan kusembunyikan erat dibalik jaket kumal yang lumayan masih bisa melindungi tubuhku dari hembusan angin dingin. Sepi, hanya lolongan serigala yang sedang berburu kelinci di gunung nun jauh disana, gaungannya terbawa angin hingga aku dapat mendengarnya. Kutapaki jalanan dengan sinar temaram lampu penerang, aku tahu memang ragaku sedang menyusuri jalan pulang tapi seakan-akan jiwaku terbang terbawa angin ke memory beberapa bulan yang lalu.
Sekitar sembilan bulan sebelumnya aku berdiri kokoh di puncak gunung Merbabu, aku ingat itu adalah senyum bahagia terakhirku sebelum aku terjebak di negeri kulit pucat yang gila kerja ini. Hembusan angin dingin di puncak gunung tak sedingin dan tak semati angin dingin musim dingin. Aku masih ingat saat kamu berdiri di sampingku dan berbisik dengan lembut "jangan pergi, aku bisa mati nanti", tak begitu kutanggapi bisikanmu waktu itu, aku terlalu asik menikmati indahnya pemandangan di sekitar sampai lupa denganmu. Perjalanan untuk sampai ke puncak gunung tak mudah, tapi terbayar dengan pemandangan indah yang tersuguhkan. Tanpa dirimu takpernah akan kujejakkan kaki di puncak gunung ini, saat aku terjatuh dengan sigapnya kamu bangunkan aku, saat aku mengeluh dengan lembutnya kau yakinkan diriku hingga aku percaya puncak gunung tak jauh lagi, saat aku mulai lelah dan merengek dirimu pun dengan sabar menungguiku hingga aku mau bergerak, bahkan saat aku bosan pun dirimu selalu berusaha mencoba menghiburku dengan candaanmu. Aku bahagia saat itu, hangatnya genggaman tanganmu menuntunku hingga aku bisa terus mendaki dan menembus kabut gunung dengan selamat dan meyakinkanku untuk tetap bangkit, tanpa kusadari aku takkan sebahagia itu tanpa dirimu, entah mungkin aku lupa mengucap terimakasih saat itu. Kita sangat bahagia saat itu, hingga akhirnya aku harus pergi demi tuntutan duniawi, meninggalkanmu. Hal yang sangat kusesalkan hingga saat ini, ingin rasanya segera kembali ke rangkulanmu, damai sudah lama hilang dari benakku, tinggal penat yang mengisi hari-hariku. Wanita yang dulu ceria dan riang sekarang berubah menjadi seorang melankolia yang terlihat tua, layu dan suram.
Tiba-tiba angin berhembus dengan kencangnya, buyar sudah angan bahagiaku tersapu angin dingin, gemeletuk suara gigiku begitu nyaring. Kurapatkan tudung jaket kumal, tapi tetap saja belum bisa kurasa hangat. Hanya satu yang tersirat dipikirku, seandainya dirimu disini bersamaku pasti takkan kau biarkan aku terhembus angin beku seperti ini, boleh jadi ini yang dinamakan rasa rindu dan kehilangan yang terpaut jadi satu. Aku menyerah untuk berusaha tetap tegar, kini aku pasrah karena tak bisa kutolak lagi perasaan kosong yang benar-benar kelam, aku menyerah pada suatu perasaan yang kebanyakan orang menyebutnya rindu. Kubuka pintu kamar sewaku, sejenak kupandangi ruang hampa didalamnya, sangat sederhana. Kuhampiri ranjang dingin diujung kamar. Disitu semua tercurah, biar tersedu, biar hanya Tuhan dan aku yang tahu. Wanita melankolia yang terjebak dalam belenggu sedang hatinya terpaut rindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar